10 May 2023

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Satu Syawal

Oleh: Naufal Dzakwan M (Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UIN RM Said Surakarta)

Beberapa waktu lalu tengah ramai diperbincangkan pada saat menjelang hari raya idul fitri tahun 1444 H/2023 M kemarin, beberapa ulama’ memiliki pendapat masing-masing ada yang dengan rukyatul hilal dan juga hisab. Dari berbagai perbedaan pendapat itu menimbulkan kebingungan dari masyarakat Islam di Indonesia yang hanya mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama’.

Kebingungan tersebut terjadi akibat adanya dua perbedaan metode dalam menentukan satu syawal. Tidak hanya kebingungan saja, namun sempat menimbulkan perselisihan antara masyarakat muslim di Indonesia karena adanya dua perbedaan. Padahal jika kita lebih teliti perbedaan seperti ini sudah muncul di beberapa taun yang lalu namun mengapa fenomena ini menjadi panas lagi saat ini.

Sebenarnya masyarakat muslim di Indonesia lebih sering mengikuti apa fatwa yang keluar dari suatu Lembaga Islam atau Organisasi besar Islam di Indonesia. Mayoritas muslim di Indonesia hanya taqlid buta atau hanya mengikuti saja tanpa ada keyakinan yang mendalam dari diri sendiri atau mengikuti tanpa mengetahui dasar-dasar hukum tersebut. Peran pendakwah kali ini untuk menjelaskan beberapa dasar-dasar yang mungkin berguna untuk menjadikan masyarakat muslim di Indonesia agar tidak menjadi taqlid buta, jadi mereka mengikuti dan juga paham dengan sebab apa yang ia ikuti.

Dua organisasi Islam besar di Indonesia tidak lain yaitu Muhammadiyyah dan Nahdhatul Ulama’ yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda dalam mengambil suatu hukum atau menetapkan suatu hukum. Namun pada kali ini yang akan menjadi pembahasan yaitu tentang metode yang mereka gunakan dalam menentukan satu syawal.

Rukyatul Hilal merupakan kegiatan atau usaha untuk melihat hilal atau bulan sabit dilangit sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah. Rukyatul Hilal juga merupakan kriteria penentuan awal bulan kalender Hijriyah dengan merukyat hilal secara langsung. Apabila hilal tidak terlihat, maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Rukyatul Hilal juga dapat diartikan sebagai kegiatan melihat bulan tanggal satu untuk menentukan hari permulaan dan penghabisan puasa Ramadhan. Rukyatul hilal merupakan metode dalam penentuan bulan qamariah.
Kemudian dengan metode hisab yaitu perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam penentuan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.

Dalam dunia Islam istilah (terminologi) hisab sering digunakan dalam ilmu falak untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap Bumi. Menurut Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, dalam tulisan yang terbit pada Rabu (8/3/2023) di laman pribadinya, bahwa dalam prakteknya, hisab yang dianggap akurat bergantung pada pilihan kriterianya. Titik temu yang ditawarkan secara astronomi adalah kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat) atau visibilitas hilal (keterlihatan hilal).

Kriteria imkan rukyat sesungguhnya adalah kriteria hisab berdasarkan data rukyat jangka panjang. Bagi pengamal hisab, kriteria itu menjadi dasar pembuatan kalender. Jadi, kedua pihak dirangkul dengan kriteria yang sama.

Mengutip penjelasan Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Pengajar Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo, sejak dulu NU menetapkan bahwa awal bulan hijriah, termasuk Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha ditentukan dengan metode rukyatul hilal. Merujuk Almaghfurlah KH A. Ghazalie Masroeri, bukan berarti NU tidak melakukan hisab. NU juga melakukan metode hisab, tetapi bukan keputusan akhir. Karena menurut KH Ghazalie Masroeri, metode hisab hanya bersifat prediktif. "Penentuan awal bulan Hijriyyah yang dipedomani Nahdlatul Ulama (termasuk di dalamnya penentuan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri/Idul Adha) adalah berdasarkan rukyah hilal sebagai ibadah yang bersifat fardhu kifayah. Merujuk keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU dan Muktamar NU sejak 1954 hingga 2021 Miladiyah," demikian dikutip dari Seputar Penentuan Idul Fitri 1444 H dalam Pandangan Nahdlatul Ulama yang dikeluarkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), seperti dikutip NU Online, Selasa (18/4/2023). Adapun 4 ketentuan metode dalam rukyatul hilal.

Jika hilal di bawah ufuk

Jika hilal masih di bawah ufuk atau minus di bawah 0 derajat, maka rukyah tidak lagi berlaku fardu kifayah. Hal ini mengingat hilal tidak mungkin dapat dilihat karena posisinya berada di bawah ufuk. Dengan begitu, secara otomatis berlaku istikmal, yaitu bulan sebelumnya digenapkan menjadi 30 hari.

Jika hilal teramati

Jika hilal dapat teramati dengan posisinya yang sudah mencapai kriteria imkan rukyah (visibilitas hilal, kemungkinan hilal bisa teramati) yang dipedomani oleh NU, maka kesaksian perukyat tersebut dapat diterima. Dengan begitu, bulan berlaku isbat. Artinya, bulan hanya berumur 29 hari dan esoknya sudah mulai bulan baru.

Jika hilal melebihi kriteria imkan rukyah

Jika hilal telah melebihi kriteria imkan rukyah yang dipedomani NU, tetapi hilal tidak teramati di seluruh titik di Indonesia, maka berlaku istikmal.

Jika hilal sudah tinggi

Jika hilal sudah sangat tinggi, tetapi tidak teramati, secara hukum mestinya istikmal. Namun, jika berlaku istikmal akan berpotensi mengakibatkan umur bulan berikutnya hanya 28 hari. Karenanya, jika terjadi kondisi demikian, maka berlaku peniadaan istikmal, meskipun hilal tidak terlihat.

Begitulah penjelasan tentang metode rukyatul hilal yang digunakan oleh Nahdhatul Ulama’.

kemudian juga ada Muhammadiyyah yang menggunakan metode hisab. Muhammadiyah menggunakan metode hisab karena untuk kemudahan dan kepraktisan. Prof Syamsul Anwar menyebutkan bahwa kemudahan dalam Al-Qur’an menjadi sebuah prinsip Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran. “Salah satu yang memberi kemudahan dalam kehidupan kita adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan juga mengambil dasar dalam al-Quran terdapat dua ayat yang mengandung isyarat yang jelas kepada hisab, QS. Ar-Rahman ayat 5. Ayat ini tidak sekadar memberi informasi, tetapi juga mendorong untuk melakukan perhitungan terhadap gerak matahari dan bulan. Sedangkan dalam QS. Yunus ayat 5 menyebutkan bahwa menghitung gerak matahari dan bulan sangat berguna untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Jadi sudah jelas masing-masing ulama memiliki pendapat juga menggunkan dasar yang valid dari Al-Qur’an dan Hadits, kita sebagai yang mengikuti penapat ulama’ bebas memilih dengan dalam keyakinan di hati kita juga mengetahui alasan mengikuti pendapat tersebut dan yang paling penting saling menghargai perbedaan pendapat. Karena kita Umat muslim terbesar di Indonesia tidak boleh berpecah belah hanya karena perbedaan paham pendapat dalam Islam.

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Satu Syawal