26 October 2023

Mencatat di Buku Tulis Menjadi Trend Pendidikan Eropa

 

 
Mencatat di Buku Tulis Menjadi Trend Pendidikan Eropa
Dr. Hakiman, M.Pd.
Dosen Fakultas Imlu Tabiyah UIN Raden Mas Said Surakarta
 
Budaya menulis dibuku tulis dan catatan di kertas atau sobekan kertas khususnya dikalangan mahasiswa sudah lama hilang, di tengah masifnya pembelajaran berbasis digital dan media pembelajaran yang canggih sehingga budaya mencatat sudah ditinggalkan. Mereka lebih senang menulis catatan kuliahnya di gadget atau di laptop, bahkan ada beberapa mahasiswa yang tidak menulis sama sekali, karena materinya sudah tersedia di file yang didowload di grup whatshap kelas atau di internet.
Budaya menulis di papan tulispun juga menjadi hal yang jarang ditemukan di kelas-kelas perkuliahan, khususnya dosen yang mengajarnya adalah dosen muda. Mereka lebih senang menggunakan powerpoint, prezi, video sparkol atau lainnya dalam memberikan materi kuliah di dalam kelas.
Selama ini kita sepakat bahwa mengintegrasikan media digital dalam pembelajaran dapat memperbaiki kualitas pembelajaran, tetapi beberapa kajian seperti yang disampaikan Fried, (2008) bahwa penggunaan laptop yang terkoneksi ke internet atau gadget dalam situasi pembelajaran sebenarnya memberikan dampak yang kurang positif, kenapa hal itu terjadi karena konsentrasi perkuliahan dengan menggunakan laptop apalagi yang konek dengan internet akan mengalihkan perhatian siswa.
Perkuliahan dengan mengaktifkan gadget pada saat kuliah memberikan dampak negativ dibanding tanpa menggunakan gadget. Memegang handphone atau laptop pada saat pembelajaran memberikan dampak keengganan (kemalasan) menulis catatan dibuku tulis, karena menganggap bahwa semua materi dapat diakses diinternet.
Dalam kajian Diemand-Yauman, Oppenheimer & Vaughan (2011) mengungkapkan bahwa meskipun popularitas laptop dalam proses pembelajaran semakin meningkat, tetapi laptop lebih banyak merugikan di kelas daripada membawa manfaat. Laptop yang sementara ini dipandang dapat meningkatkan pendidikan sebaliknya dibeberapa negara sudah mulai ada pergeseran.
Budaya menulis di papan tulis dan menulis di buku catatan dengan menggunakan tangan sendiri menjadi perhatian di banyak bagian negara eropa, mereka kembali untuk menggalakkan menulis atau mencatat materi perkuliahan secara manual di buku tulis dengan menggunakan tangannya sendiri. Menulis dan mencatat dengan berbagai karakteristik catatan yang berbeda-beda dari setiap orang juga memberikan pengaruh padan ke khasan intelektual.
Menulis di papan tulis atau menulis di buku tulis dengan karakter huruf yang berbeda dengan karakter huruf di keybord laptop atau handphone memberikan daya ingat pengetahuan yang berbeda. Menulis dengan font dan karakter tulisan masing-masing orang yang berbeda bukan berarti menghambat transfer pengetahuan. Tulisan yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri atau membutuhkan waktu berfikir cukup lama ketika orang lain membaca tulisannya, hal tersebut sebenarnya memberikan dampak positif dalam pengetahuan. Dalam penelitian yang dilalukan oleh Diemand-Yauman, Oppenheimer & Vaughan (2011) bahwa imformasi dalam font yang sulit dibaca lebih diingat daripada imformasi yang lebih mudah dibaca.
Membaca tulisan dosen atau guru di papan tulis di dalam kelas ketika pembelajaran akan memberikan kekuatan daya ingat kepada peserta didik atau mahasiswa. Membaca tulisan guru atau dosen di papan tulis kemudian menulisnya kembali di buku catatan dengan tangannya sendiri akan menguatkan tangkapan imformasi pengetahuan.
Dalam tiga penelitian terakhir yang di lakukan di California Amerika Serikat oleh Pam Mueller dan Daniel M Oppenheimer (2014) mengungkapkan bahwa siswa yang membuat catatan di laptop memiliki kinerja yang lebih buruk pada penguatan konseptual dibandingkan dengan siswa yang mencatat dengan tangan di buku. Siswa yang menulis di buku catatan dengan tangannya sendiri dianggap mempunyai kapasitas konseptual pengetahuan yang mapan dibanding mereka yang menulis di laptop atau di handphone. Begitupun dosen atau guru yang menulis di papan tulis dalam mengajar dianggap mempunyai kapasitas kecakapan intelektual yang mapan.
Menulis dengan tangan di buku tulis juga memberikan dampak perkembangan kognitif dan motorik yang luar biasa pada peserta didik, apalagi peserta didik pada tingkat sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Anak pada umur 4-7 tahun dengan kebiasan menulis di buku catatan dengan tangannya sendiri memberikan dampak pada penguatan motorik. Hal ini disampaikan oleh Karin H. James (2017) bahwa latihan tulisan tangan mempengaruhi motorik otak, karena tulisan tangan berfungsi untuk menghubungkan pemrosesan visual dengan pengalaman motorik.
Selain budaya menulis di papan tulis dan di buku catatan menjadi trend di beberapa negara eropa pada akhir-akhir ini, beberapa negara eropa juga sedang menggalakan mencetak buku-buku pengetahuan supaya dibaca secara fisik. Secara berangsur-angsur mereka meninggalkan buku-buku e-lektronik, sehingga buku-buku e-lektronik sudah mulai ditinggalkan dan kembali ke buku-buku fisik. Sebaliknya di negara berkembang seperti Indonesia justru sedang masifnya pengalihan buku fisik ke buku elektronik.
Buku e-lektronik mudah untuk dikases dan disimpan tetapi sangat sulit untuk dibaca secara continue, kecenderungan membaca buku dalam bentuk file kurang memberikan dampak positif pada seringnya dalam membaca buku. Buku cetak (fisik) dianggap lebih efektif dalam memberikan transfer pengetahuan dibanding dengan buku elektronik atau sejenisnya.
Nabi Muhammad SAW. menyampaikan dalam hadis shohihnya “qoyyidul Ilma bilkitabi” jagalah ilmu dengan menulis, atau dalam Q.S Al Baqarah ayat 282 kita juga dapat menemukan perintah Allah SWT. yaitu dengan kalimat “faktubuhu” yaitu perintah untuk menulis. Mencatat atau menulis merupakan bagian dari spirit Islam.
Budaya menulis dalam sejarah muncul sejak tahun 4100 sebelum masehi yang menandai berkembangnya masyarakat agraris. Merujuk pada sejarah Islam bahkan pra Islam budaya mencatat dengan tangan sudah berlangsung lama, seperti penulisan wahyu yang ditulis di tulang, di batu, di kulit, di pelapah kurma atau media lainnya yang dilakukan oleh para sahabat. Penulisan al Quran dimulai sejak zaman khalifah Abu bakar dan dilanjutkan pada masa kehalifahan Usman bin Affan melalui tim penulis al Quran yaitu Zaid bin Tsabit, Said bin Al-As, dan Abdurrahman bin Al-Harits yang kemudian dibukukkan dan disebarkan.
Budaya menulis terus terjaga dalam tradisi Islam dari mulai masa pertumbuhan, masa perkembangan sampai pada masa keemasan. Budaya menulis begitu hebat pada masa Harun Arrasyid yaitu pada kekholifahan Abbasiyah (786-809 M), catatan-catatan ilmuwan pada masa itu tersebar di berbagai tempat. Sejarah menggambarkan bahwa disetiap jalan, pasar, gang dan halaman rumah banyak kertas catatan yang bertebaran baik itu catatan tangan melalui tinta-tinta hitam maupun lembaran-lembaran catatan tangan yang sudah digandakan.
Budaya menulis dan mencatat terus dikembangkan pada masa kholifah al Makmun, pada masa inilah Islam mencapai masa keemasannya. Masa Khalifah al-Ma‘mun disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun 800 kota Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota utama bagi dunia Islam, yakni sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran dan peradaban Islam, serta pusat perdagangan, ekonomi, dan politik.
Sungai Tigris menjadi saksi ketika airnya menjadi hitam pekat karena lebaran-lembaran kertas tulisan berisi pengetahuan ditenggelamkan oleh tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Saat itu Hulagu Khan melakukan penyerangan pada kekhalifahan Islam Abbasiyah, dan pada tahun 1258 Masehi menjadi bencana besar yang menimpa peradaban dan literatur Islam (Hitti, 2008).
Langit-langit menghitam karena ada pembakaran buku-buku di perpustakaan, pembakaran buku-buku dilakukan di Al Hakam, Kordoba, pada abad ke-11, di Rayy, pada 1027 Masehi. Juga, pembakaran buku oleh tentara Salib di Tripoli, Lebanon. Pembakaran buku-buku dan perpustakaan terus berlanjut seperti di Banu Ammar pada 1109 Masehi, Nishapur pada 1153 Masehi, Ghazna pada 1155 Masehi, Merv pada 1209 Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya karya atau buku yang berjumlah jutaan sebagai warisan dari budaya menulis.
Indonesia pun mempunyai budaya menulis yang kuat seperti pada abad 19-20 tokoh ulama Indonesia yang menonjol antara lain Imam Nawawi al-Bantani (w. 1887M) menghasilkan 100 kitab dalam sembilan bidang ilmu agama Islam, yakni Tafsir, fikih, Ushul al-Din, Ilmu Tauhid, tasawuf, kehidupan nabi tata bahasa arab hadis dan akhlak.19, Mahfudz al-Tirmisi (w. 1919M) terdapat 20 judul karya tulis salah satunya as-Siqayah al-Mardiyah fi ‘Asma alutub al-fiqhiyah as-Syafi’iyah20, Khalil Bangkalan (w. 1925M), K.H.R Asnawi Kudus (w. 1959), dan KH. Hasyim Asy’ari (w. 1974) karya monumentalnya adalah kitab Adab al-Alim wa al mutaallim fima Yahtaju ila al-Muta’allim fi Ahwwal Ta’allum wa ma Yataqqaf al-Mu’allim fi Maqamat Ta’limi yang di cetak pertama kalinya pada 1415H.
Budaya mencatat dan menulis di buku saat ini masih dapat dilihat di beberapa pondok pesantren salaf, mengaji kitab-kitab gundul atau kitab kuning dengan model sorogan dan bandongan. Guru meterjemahkan kalimat perkalimat/ kata/lafadz kemudian para santri menuliskannya kembali di kitabnya. Metode ngalogat (pesantren Sunda) dan pegon (pesantren Jawa) merupakan metode mencatat sejak abad ke 16 atau pada masa syekh Nawawi al Jawi. Metode ngalogat menjadi tradisi cara mengaji di pesantren salafiyah, metode ini juga dibarengi simbol dalam memberikan makna. Simbol utawi, iki, iku yang kita kenal menjadi karakter dalam mengaji kitab kuning di pesantren, posisi simbol menjadi penanda kedudukan kata dalam bahasa arab seperti utawi simbolnya adalah mim (mubtada), iki simbolnya kho (khobar) dan lain-lain. Begitulan tradisi keilmuan di pesantren yang sampai sekarang terus dijaga.
Mencatat dengan tangan di buku tulis atau buku catatan yang mulai ditinggalkan oleh generasi milenial, Z dan post Z perlu untuk digalakkan dalam menjaga ruh pengetahuan. Sebagaimana yang penulis paparkan di atas bahwa mencatat di buku tulis bagi para pencari ilmu memberikan daya ingat dan kekuatan konseptual pengetahuan. Membaca buku fisik juga dianggap lebih efektif dalam meningkatkan pemahaman pengetahuan. Beberapa negara eropa sudah mulai menggalakan mencetak buku-buku berbentuk fisik dan mebudayakan menulis di buku catatan.
Budaya menulis di Indonesia sebenarnya sudah menjadi tradisi para the founding father, dan sudah mengakar dalam budaya pendidikan pesantren, sehingga membudayakan menulis di buku catatan di sekolah dan kampus perlu untuk digalakkan di tengah masifnya media digital dan penggunaan gadget.
 
 
Sumber Bacaan
Diemand-Yauman, C., Oppenheimer, D. M., & Vaughan, E. B. (2011). Fortune favors the bold (and the italicized): Effects of disfluency on educational outcomes. Cognition, 118, 111–115, DOI: 10.1016/j.cognition.2010.09.012
Fried, C. B. (2008). In-class laptop use and its effects on student learning. Computers & Education, 50, 906–914. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2006.09.006
Pam A. Mueller1 and Daniel M. Oppenheimer (2014). The Pen Is Mightier Than the Keyboard: Advantages of Longhand Over Laptop Note Taking. Psychological Science, Vol. 25(6) 1159–1168. hhtp://doi. 10.1177/0956797614524581
Karin H. James. (2017). The Importance of Handwriting Experience on the Development of the Literate Brain. Psychological Science 26 (6). 1–7. https://doi.org/10.1177/0963721417709821
Philip K. Hitti. History of the Arabs: rujukan induk dan paling otoritatif tentang sejarah peradaban Islam, penerjemah, R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (2008). Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Mencatat di Buku Tulis Menjadi Trend Pendidikan Eropa